ISNA AINA HIDAYANTI

Guru ndeso yang berasal dari ndeso yang bangga dengan ndesonya, bercita-cita dadi guru yang bermanfaat buat sesama. Dinantikan kehadirannya, diharapkan keb...

Selengkapnya
Navigasi Web
Helikopter dan Tentara
Jejak Masa Kecil

Helikopter dan Tentara

Helikokpter dan Tentara

Bapakku mengajar di MI desa Leban, maka aku pun ikut bersekolah di sana. Letaknya tiga kampung dari tempatku tinggal. Kurang lebih satu kilo meter dari rumah dan di tempuh dengan berjalan kaki. Mungkin kalian bertanya, kenapa kok jalan kaki, tidak naik sepeda, sepeda motor atau angkutan?

Masa itu belum ada angkutan sampai ke desa. Misalkan ada pun hanya pada hari pasaran saja. Biasanya ada angkutan tiap hari Kamis dan hari Minggu. Kami tak naik sepeda, karena jalanan yang berbatu dan naik turun sehingga tak memungkinkan untuk naik sepeda. Sedangkan sepeda motor masa itu adalah barang mewah, hanya orang-orang tertentu yang mempunyainya.

Ada satu anak yang nakal ku kenal di sana, sukanya menggangu. Benar-benar sok jagoan. Entah kenapa saat itu aku sangat takut sama dia. Kenangan saat kelas satu tak begitu berkesan, karena tak ada satu pun teman yang satu kampung di sekolah itu. Temanku sepermainan di kampung semua sekolah di SD yang terletak di kampungku.

Kalau pulang sekolah, kami berjalan kaki beramai-ramai dengan teman tetangga kampungku. Pulang sekolah juga bermain dengan mereka. Jika dalam perjalanan pulang, kami melihat pesawat helikopter di angkasa, kami sangat senang sekali. Spontan kami berhenti dan melambaikan tangan ke arah awak pesawat.

“Dada Pak Pilot! Dada pak Pilot!” teriak kami kegirangan sambil berlari seolah mengejar bayangan pesawat tersebut.

Pernah suatu ketika, pesawat tersebut mendarat di lapangan belakang sekolah kami. Kami pun berhamburan naik ke lapangan. Tak hanya para siswa yang berbondong-bondong ke lapangan untuk melihat secara langsung itu pesawat, para guru dan masyarakat pun tak kalah antusiasnya.

Bagaiamana tidakbersuka cita, biasanya hanya melihat pesawat dari kejauhan yang kelihatan kecil, dan sekarang bisa melihat bentuk aslinya. Kami pun cukup merekam bentuk pesawat lewat ingatan saja. Tak ada istilah seperti anak jaman now. Cekrek … cekrek, pakai kamera. Jangan di tanya juga, ya. Kamera di masa itu yang punya hanya tukang foto. Jika mau foto ya harus ke kota kecamatan, di studio foto, atau menunggu tukang foto keliling yang datangnya tidak bisa diperkirakan kapan mereka datang.

Di desa kami, mungkin karena medannya yang naik turun dan daerah hutan masih banyak, jadi sering digunakan untuk latihan militer. Senang sekali kami melihat mereka yang tampak gagah dengan baju hijau-hijaunya.

Para tentara itu menggunakan topi bundar berwarna hijau dan dikasih rumput di atasnya. Sebuah rangsel yang juga warnanya hijau dan juga ada rumputnya. Wajahnya tidak kelihatan jelas, karena dicoreng sama warna hitam, mungkin arang. Aku dan kawan-kawan biasanya mengikuti mereka hingga batas desa, lalu duduk sambil menunggu rombongan mereka habis.

Akhirnya kami pun saling bertanya mengenai cita-cita kami. Yang ingin jadi seperti mereka biasa anak laki-laki. Entahlah, waktu itu aku ditanya apa cita-citaku, aku langsung menjawab ingin jadi guru. Jawaban sepontan karena bapakku seorang guru kali ya.

(To be continue)

Tantangan Menulis 30 Hari

Day 5

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap,sukses terus

03 Jun
Balas



search

New Post